Menurutnya, ada sekelompok orang yang menyatakan bahwa cinta kepada Allah itu tidak bisa dikarenakan cinta itu adalah sifat yang terkait dengan syahwat dan jelas syahwat itu berhubungan dengan sesuatu yang memiliki fisik (jasmani) dan tentu ini tidak bisa kepada Allah Swt karena dia bukanlah jasmani. Maka, cinta menurut kelompok ini adalah ketaatan, patuh, tunduk akan segala perintah Allah Swt serta menjauhi segala larangannya.
Tapi, menurut Thabathaba’i mengenai ayat “Yuhibbunakum kahubbilah” maka menurutnya cinta itu benar-benar kepada Allah dan cinta itu ada kepada Allah dan sifatnya hakiki bukanlah sesuatu yang majaz atau metafora. Karena menurutnya orang-orang yang beriman itu sangatlah kuat atau dalam cintanya kepada Allah jelas bagi seorang Thabathaba’i itu bukanlah yang sifatnya majaz atau metafora.
Bagi Thabathaba’i beliau mendefinisikan cinta itu adalah segala yang terkait dengan aspek emosi kita, apapun itu baik cinta kepada pengetahuan, harta, jabatan, lawan jenis, makanan dan lain-lain sebagainya itu juga di sebut cinta.
Boleh jadi kita tidak menunggu definisi cinta itu baru kita tau apa itu cinta. Tapi, cinta itu langsung bisa kita ketahui karena secara huduri kita merasakannya. Contoh misalnya saya jatuh cinta kepada buku, perempuan, harta, jabatan serta makanan secara sadar kita tidak akan ragu kalo kita cinta dan posisinya ini sama (Isytirak Maknawi).
Tapi, ternyata ketika kita cinta pengetahuan, harta, jabatan, dan lain-lain sebagainya kita akan menemukan adanya perbedaan diantara cinta-cinta tersebut walaupun hakikatnya sama atau ucapannya sama atau kondisinya sama dengan misdaq yang berbeda-beda. Lalu pertanyaan kemudian yang di jelaskan di atas ini di sebut apa?
Menurut Thabathabai, kalo kita detail memahami cinta ini, misalnya cinta kepada buah-buahan maka kita akan menyadari buah itu kita mencintainya karena buah itu punya relasi terkait dengan kebutuhan nutritif kita. Andaikan tidak ada kebutuhan nutritif kita tidak akan repot-repot lagi untuk menyukai benda-benda tersebut contoh buah dan segala macamnya.
Maka cinta itu pada hakikatnya adalah relasi yang terjadi antara 1 daya tertentu dalam kasus ini yaitu buah adalah daya nutritif dan aktifitasnya termasuk juga adanya rasa nikmat dalam memakan buah tadi. Namun, rasa nikmat itu bukan dari lidah karena lidah itu hanya sebagai alat untuk mencapai kenikmatan rasa buah tadi. Karena kenikmatan itu ada pada jiwa.
Oleh karenanya bisa disimpulkan bahwa cinta itu adalah sifatnya eksistensial wujudi karena berasal dari daya dalam diri kita yaitu vegetatif dalam hal ini contoh buah tadi.
Bisa saja ada orang yang berfikir bahwa cinta itu adalah kebutuhan dan sifatnya fisik dan kongkrit. Tapi, kalo dikaji lebih dalam lagi ternyata cinta itu adalah hubungan timbal balik antara pelaku dan objek. Seseorang makan karena dia butuh nutrisi agar bisa hidup.
Dan di simpulkan secara jauh bahwa cinta itu adalah relasi khusus yang sifatnya emosional antara manusia dan kesempurnaannya. Contoh, mata jika di pakai untuk melihat sesuai fungsinya dan tidak menutupnya maka ada hubungan cinta antara mata dan fungsinya. Aktifitas melihat itu sempurna ketika mata dipakai untuk melihat atau kita memfungsikannya. Jadi ketertarikan kita untuk mencapai kesempurnaan disebut cinta. Cinta itu sifatnya eksistensial maka ada hubungan tegak antara keduanya begitupun dengan konteks hubungan makhluk dengan Allah.
Jadi kesimpulannya, cinta itu adalah relasi eksistensial antara sebab penyempurna dan akibat yang menjadi sempurna karena ada sebab.
Cinta karena sifatnya eksistensial sehingga mempunyai gradasi yang berbeda-beda ada yang kuat dan rendah karena cinta itu wujud sementara eksistensial itu bergradasi jadi cinta itu juga bergradasi.
Maka begitupun dengan Allah swt adalah zat yang sangat pantas untuk di cintai karena dia (Ada). Kenapa kita jatuh cinta kepada makanan karena dia adalah objek dari aktifitas nutritif kita (kebutuhan). Begitupun dengan Allah Swt. Allah mencintai manusia/hamba karena manusia itu adalah objek dari penyaluran rahmat Allah jadi Allah mencintai semua ciptaanya secara luas. Allah mencintai makhluknya karena dia mencintai dirinya. Allah sempurna dan bentuk kesempurnaan itu di aktualisasikan dalam bentuk ciptaan. Maka ciptaan itu dicintai karena Allah mencintai dirinya. Allah juga mencintai ciptaan karena ciptaan adalah wadah penyaluran kasih sayang Allah. Hal ini kemudian bisa kita simpulkan bahwa prinsip cinta mengalir pada seluruh elemen semesta.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun, karna komentar yang membangun dapat membuat penulis menjadi lebih baik kedepannya.