Nama lengkap al-Sulami adalah Abu’Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husain Ibn Musa al-Azdi al-Sulami. Nama al-Azdi berasal dari ayahnya, sedangkan al-sulami berasal dari ibunya. Beliau adalah seorang sufi dan penulis yang produktif. Beliau lahir di Khurasan daerah Iran, pada tanggal 16 April 937 M/325H atau 947 M/330 H. Sedangkan menurut Adz-Dzahabi dalam magnum pousnya At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, bahwa al-Sulami lahir pada tahun 330 H di Nishapur dan wafat pada tahun 412 Hijriah. Ia termasuk dalam keluarga yang taat dalam beragama dan dikenla sebagai ulama dan sufi yang primadona di Khurasan. Al-Sulami merupakan keturunan dari suku Arab, yaitu dari segi nasab ayah itu dari suku Azd bin Dhawts dan dari garis Ibu dari suku Sulayn bin Mansur, seperti seorang ahli hadis yaitu Amdan bin Yusud bin Khalid al-Naisaburi dan ahli hadis, sekaligus seorang sufi yaitu Abu Amr Ismail bin Nujayd.
Profil kitab tafsir Haqaiq At-Tafsir karya Abu Abdurrahman Al-Sulami. Di dalam khazanah Islam, terdapat
salah satu kitab tafsir yang memiliki kecenderungan bernuansa sufistik, yaitu
kitab Haqaiqu Tafsir yang ditulis oleh Abu’ Abdu Ar’Rahman Muhammad Al-Sulami.
Dalam kitab tersebut, Al-Sulami lebih menitikberatkan pada mengulas makna-makna
bathin dari ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga ditemukan pengajaran-pengajaran
sufistik yang dilandaskan pada pengalaman ruhani/spritual Al-Sulami pribadi dan
juga pendapat para sufi yang primadona pada saat itu. Untuk menggali kembali nilai-nilai
tasawuf yang telah dirumuskan oleh para sufi terdahulu, banyak cara yang dapat
dilakukan. Salah satunya adalah dengan menggali karya-karya tulis para sufi.
Haqaiq at-Tafsir mencakup semua surah dalam Al-Qur’an, tetapi hanya ayat-ayat
tertentu saja yang diinterpretasikan oleh al-Sulami. Dalam menafsirkan ayat
Al-Qur’an, al-Sulami hanya memaknai bathin yang terkandung dalam ayat tersebut.
Meski demikian, bukan berarti beliau menolak makna dzahir dari setiap ayat. Hal
ini bisa dilihat pernyataan dari al-Sulami yang mengatakan bahwa ia hanya ingin
menghimpun tafsir ahli hakikat ke dalam kitab khusus sebagaimana yang dilakukan
oleh ahli zahir terhadap tafsir zahiri. Dari perkataan al-Sulami tersebut
terlihat bahwa apa yang ditulis dalam tafsirnya merupakan kumpulan pendapat
dari para ahli tasawuf yang disusun sesuai dengan tartib Al-Qur’an. adapun ahli
tasawuf yang banyak dikutip pendapatnya oleh al-Sulami adalah Ja’far ibn
Muhammad Al-Shodiq, Ibn ‘ Athaillah al-Sakandari, Junayd al-Baghdadi, Fudhayl ibn
Iyadh, Sahl Al-Tustari.
Metode penafsiran dalam tafsir Haqaiq At-Tafsir
Pertama, di dalam melakukan penafsiran AL-Qur’an, al-Sulami membuat
satu jilid kitab yang mengkaji seluruh ayat surah di dalam Al-Qur’an. Akan
tetapi, tidak menafsirkan seluruh ayat di dalam surah-surah tersebut. Atas
dasar inilah, al-Sulami berpendapat di muqaddimah tafsirnya tersebut bahwa
Haqaiq at-Tafsir merupakan kumpulan penafsiran ahli hakikat terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an. Dia mengumpulkan penafsiran ahli hakikat menjadi satu buku utuh
seperti yang dilakukan oleh ahli dzahir yang mengumpulan penafsiran dzahir ayat
menjadi satu buku. Berdasarkan hal tersebut, menurut Adz-Dzahabi, sebenarnya
al-Sulami tidak memproduksi hasil tafsir kecuali hanya mengumpulkan pendapat
para sufi dalam memaknai ayat Al-Qur’an.
Statement tersebut disusun sesuai dengan susunan surah dan ayat di dalam
Al-Qur’an, dimulai dari Surah Al-Fatihah hingga Surah An-Nas. Kemudian,
Al-Sulami membuatnya menajdi satu jilid dan diberi judul yang bertemakan Haqiaq
At-Tafsir.
Kedua, penafsiran yang dilakukan oleh al-Sulami dalam beberapa ayat
merujuk kepada corak tafsir naqli berupa penafsiran ayat dengan ayat atau ayat
dengan hadis. Ketiga, model yang digunakan al-Sulami dalam menafsirkan
ayat-ayat di dalam Al-Qur’an adalah model atau metode isyari. Akan tetapi, penggunaan
metode tafsir isyari yang mengutamakan penafsiran makna esoteris ayat, namun
tidak membuat al-Sulami menafikan makna eksoteris, serta mengumpulkan
pendapat-pendapat para sufi atau ahli hakikat dalam menafsirkan ayat yang
dikaji atau diinterpretasi oleh al-Sulami.
Corak Penafsiran Al-Sulami dalam Kitab Haqaiq Al-Tafsir
Dalam kitab Haqaiq Tafsir dapat dilihat bahwa corak yang digunakan
yaitu, corak yang bernuansa tafsir sufi isyari. Secara sederhana, tafsir sufi
isyari menitikberatkan pada corak tafsir yang mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang sebenarnya tidak hanya mengandung makna eksoteris dari sebuah teks saja,
melainkan mengandung makna esoteris/batin yang berupa isyarat atau makna
hakikat dibalik teks lahiriah.Abu Abdurrahman dengan para mufassir lainnya
bercorak sama mempercayai bahwa segala sesuatu yang Tuhan ciptakan tak terkecuali
Al-Qur’an, memuat makna lahiri dan makna batin yang dalam proses pemahaman
makna itu harus dikembalikan kepada Tuhan, bukan kepada perkataan manusia.
Dengan demikian, yang harus diperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
mengunakan pendekatan sufistik isyari adalah tetap mengikuti isyarat dan
ketentuan dalam penafsiran, seperti tidak menafikan makna yang terungkap dari
makna teks/lahiriah suatu ayat Al-Qur’an, kemudian dikuatkan dengan dalil aqli
dan naqli, dan tidak bertentangan dengan akal sehat serta, sistematika
penulisannya yaitu penafsirannya dari aspek makna lahir dituliskan terlebih
dahulu, kemudian dilengkapi dengan penafsiran makna batin yang tersingkap dari
teks.
Sebelumnya diketahui bawa corak penafsiran yang dilakukan oleh
al-Sulami tidak urut ayat per ayat. Kisah Nabi Musa dan Abd ata Hidir dikaji
oleh Al-Sulami langsung merujuk pada QS. Al-Kahfi ayat 65.
Artinya : Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Al-Sulami mengutip pendapat yang
disampaikan oleh Junaid bahwa peribadatan pda hakikatnya bukan terletak pada
perbuatan secara fisik yang dapat diindrai secara empiris, melainkan peribadah
sejatinya ada pada hal-hal yang tidak tampak seperti keikhlasan hati, kesucian
jiwa dan kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Secara linguistik, kata “Abdan” yang
terletak pada ayat tersebut masuk kategori nakirah yang tidak diketahui siapa
yang ditunjuk. Atas dasar inilah, ada keterkaitan makna dzahir lafadz dengan
makna yang ingin disampaikan oelh al-Sulami, bahwa ibadah itu bukan yang
tampak, tetapi apa yang ada di dalam hati manusia. Sebab, falsafah penciptaan
manusia hanya untuk menghambakan diri pada Tuhan. Sedangkan Al-Sulami dalam
menjelaskan ayat diatas juga menggunakan konsep al-Kasyfu dan Asy-Syuhud. Ilmu
laduni yan diberikan oleh Nabi Khidir mengandung dua muatan tersebut. Dan
Al-Kasyfu yang kita kenal sebagai penyingkapan tabir atau penghalang, sehingga
kebenaran akan tampak jelas. Maka orang-orang yang mengalami al-kasyaf
merupakan orang-orang pilihan yang didapatkan melalui tazkiyatun an-nafs,
ibadah wajib dan sunnah. Pada akhirnya dapat menyatu dengan Tuhan.
Di sisi lain, dalam prinsip ilmu laduni yang diungkapan oleh
AL-Sulami mengandung makna musyahadah. Menurut Al-Ghazi, musyahadah merupakan
melihat kebenaran tanpa menggunakan mata lahiriah, melainkan mata bathin.
Orang-orang musyahidin melihat hakikat sebagaimana orang melihat matahari di
siang hati sangat jelas. Akan tetapi, orang-orang yang belum mendapatkan syuhud
atau musyahadah, maka akan kebingungan hakikat dari kebenaran itu sendiri. Jika
dikatkan dengan kisah diatas bahwa Nabi Khidir telah sampai pada maqam
al-Kasyfu dan Asy-Syuhud, sedangkan Nabi Musa kebingungan dan selalu memproters
Nabi Khidir karena beluam sampai pada maqam al-Kasyfu dan asy-Syuhud.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun, karna komentar yang membangun dapat membuat penulis menjadi lebih baik kedepannya.