A. Pengertian Manthuq
a. Definsi Manthuq
Secara etimologi manthuq berasal dari bhasa
arab ( نطق - ينطق )yang artinya berbicara, ( منطوق
isim maf’ul) berarti yang dibicarakan atau yang diucapkan. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami bahwa Manthuq merupakan apa yang
ditunjukkan oleh lafadz pada saat penyampaian. Maksudnya definisi ini, Manthuq
adalah makna tersurat yang dipahami seseoang dari sebuah ucapan. Konklusi dari
pendefinisian Manthuq dan Mafhum dapat dipahami dari kata kunci diantara
keduanya. Manthuq adalah petunjuk makna yang bersifat tekstual yaitu petunjuk
yang telah jelas pada seluruh atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz
itu sendiri.
Mantuq merupakan suatu makna yang ditujukkan
oleh lafadz menurut ucapannya yakitu penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf
yang diucapkan.
Sedangkan mafhum adalah pemahaman terhadap makna yang tidak terdapat dalam suatu lafadz.
Oleh karena itu, Manthuq adalah suatu makna
yang ditunjukkan oleh lafadz menurut ucapannya yaitu petunjuka makna
berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Sedangkan Mafhum adalah makan
yang ditunjukkan oleh lafadz tidak berdasarkan pada bunyi bacaan.
b. Manthuq dari segi Terminologi
Sedangkan dari menurut istilah manthuq adalah
yang ditunjukkan oleh bunyi lafal mengenai apa yang dibicarakan atau diucapkan.
Dengan kata lain manthuq adalah pengertian yang tersurat dari suatu susunan
lafal. Jadi, Mantuq adalah Ma’na yang ditujukkan lafadz yang terdapat atau yang
disebutkan pada lafadz tersebu. Lawan daripada manthuq ini adalah mafhum, yaitu pengertian yang tersirat dari
susunan lafal.
Dalam Kitab Al-Itqan Fi Ulum Qur’an karya Jalaluddin As-Suyuthi memberikan pendefinisian tentang Manthuq adalah makna tersurat yang dipahami seseorang dari sebuah ucapan. Di samping itu, menurut Manna Khalil Al-Qathhan, Manthuq adalah sesuatu makna yang ditunjukkan oleh lafadz menurut ucapan yakni menunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkannya.
Adapun pandangan yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab mengenai Manthuq adalah makna yang terkandung dari kata yang diucapkan. Namun terlepas dari pandangan-pandangan yang hampir senada tersebut diatas, ternyata ada yang mendefinisikan Manthuq itu sebagai makna tekstual dari suatu lafadz. Al-Qur’an. Pandangan ini dikemukakan oleh Muhammad Al-Maliki yang mengutip langsung pada Kitab Al-Itqan, karya Jalaluddin As-Suyuti. Menurutnya definisi Manthuq dapat disederhanakan dengan apa yang diisyaratkan oleh sebuah kata secara tekstual.
Menurut Rachmat Syafi’i dalam ilmu ushul Fiqh memberikan pendefinisian mengenai Manthuq adalah suatu lafadz ketika ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna. Dilalah Manthuq adalah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri. Dilalah Manthuq seperti ini mencakup tiga dalalah yang dipakai dalam istilah Hanafiah yaitu Ibarat, Isyarat, dan Iqtidha Nash.
Contoh
QS Al isra’ (17): 23
وَ
قَضى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَ بِالْوالِدَيْنِ إِحْساناً
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُما أَوْ كِلاهُما فَلا تَقُلْ
لَهُما أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُما وَ قُلْ لَهُما قَوْلاً كَريماًH
Artinya: Maka sekali kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu-bapakmu) perktaan “ah”.
Manthuq pada ayat ini menunjukkan haram mengatakan “ah” pada kedua orang tua, tapi mafhumnya menunjukkan haram memukul,memfitnah, atau hal-hal lain yang menyakitkan orang tua.
Dalam buku pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh lafadz pada saat diucapkan yaitu
penunjukkan makna berdasarkan materi-materi huruf-huruf yang diucapkan.
Dari beberapa definisi yang disebutkan diatas,
sebenarnya ada titik temu dalams segi pendefinisian para ahli mengenai Manthuq
itu sendiri yakni Manthuq yang dimaksud disini adalah suatu makna dari lafadz
Al-Qur’an yang terucapkan.
c. Macam- macam Manthuq
Ulama Ushul fiqh
membagi Manthuq ke dalam tiga macam yaitu Nash, zhahir dan mu’awwal. Berikut
penjelasannya.
1. Nash, yaitu tidak mengandung krmungkinan ta’wil atau pengalihan makna. Nash ini terbagi atas dua bentuk yakni sharih (jelas) dan ghairah sharih (tidak jelas) berikut penjelasannya.
1. Nash Sharih (jelas)
Apabila lafadznya menunjukan dengan tegas
dan maknanya jelas, baik makna itu sesuai dengan bunyi teks (nash) atau hanya
dikandung maknanya oleh nash. Bagian ini di sebut dengan ibarat al-nash.
Misalnya Firman Allah Swt berikut :
فَمَن
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ فِى ٱلْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا
رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُۥ حَاضِرِى ٱلْمَسْجِدِ
ٱلْحَرَامِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Artinya: Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna (QS. Al-Baqarah: 196).
Penyifatan sepuluh
dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan sepuluh di diartikan lain secara
majaz.
2. Nash gairu sharih,
yaitu manthuq yang maknanya bukan muncul dari makna yang di letakkan untuknya,
namun demikian makna itu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan darinya.
Contohnya: sepuluh adalah makna angka di atas 9 dan dibawah sebelas. Namun bisa
saja angka sepuluh merupakan bilangan genap. Itulah manthuq yang ghairu sharih
dan yang sebenarnya bukan yang dimaksud dengan kata empat, tetapi selama ia
sepuluh, ia pasti genap (Shihab, 2013: 170).
Manthuq ghairu
sharih dibagi menjadi tiga: 1) dilalah al-ima’, 2) dilalah isyarah, dan 3) dilalah
al-iqtidla’ berikut penjelasannya.
1.
Dilalah al-ima, yaitu teks yang dibarengi dengan lafdz tertentu, yang
seandainya lafadz itu bukan sebab dari ketentuan yang di sebut oleh ayat, maka
penyebutannya dalam teks tidaklah bermakna, dan hal seperti ini mustahil
terdapat dalam firman Allah ataupun dalam hadis Nabi Muhammad Saw. Contoh
firman Allah ;
إِنَّ
ٱلْأَبْرَارَ لَفِى نَعِيمٍ
Artinya : “ Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan berada di dalam kenikmatan” (QS.
Al-Infithar: 13).
Ayat ini mempunyai
maksud, bahwa mereka dalam kenikmatan sebagai imbalan atas kebajikan mereka.
Sisipan ini dirasa perlu karena Allah Maha Adil, ganjaran dan balasan yang
diberikan-Nya atas dasar perbuatan manusia .
2.
Dilalah iqtidha, maksudnya kebenaran dilalah (petunjuk) sebuah lafadh
kepada makna terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Atau
dilalah yang harus mentaqdirkan lafadh yang terbuang, karena suatu nash tidak
dapat dipahami dengan benar menurut syara’ kecuali dengan mentaqdirkan lafadh
yang berbuang. Contoh firman Allah
:
فَمَن
كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: “Maka di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah:
184).
Ayat di atas memerlukan suatu lafadh yang tidak disebutkan, yaitu faafthara faiddatun (lalu ia berbuka maka..), sebab kewajiban qadha puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedang jika ia tetap berpuasa maka tidak wajib baginya mengganti atau qadha .
3.
Dilalah isyarah, yaity makna di tarik dari lafadz, namun bukan itu yang
di maksud oleh lafadz tersebut, akan tetapi ia memiliki hubungan kelaziman
dengan konteks uraiannya, misal dalam firman Allah Swt .
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ
لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ
تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ
بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ
مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا
تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ
فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. Al-Baqarah: 187).
Ayat di atas
memperbolehkan suami istri untuk berhubungan seks pada malam puasa, yakni
sampai batas berakhirnya malam. Hal itu mengisyaratkan bahwa seorang yang dalam
keadaan junub tidak batal puasanya, walau hubungan seks itu berlanjut dan
selesai pada detik terakhir sebelum berakhirnya malam. Bagi mereka yang
melakukan hubungan seks pada akhir detik malam, tentu saja ketika itu dia masih
dalam keadaan junub (karena belum mandi janabah). Berarti ayat ini
memperbolehkan puasa dalam keadaan junub.
2. Zahir, yaitu lafadh yang menunjukkan sesuatu makna
yang segera bisa dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan
makna lain yang lemah (marjuh). Maka, dhahir itu sama halnya dengan nash dalam
hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi, dari
segi lain ini berbeda dengannya karena nash hanya
menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung
kemungkinan menerima makna lain. Sedangkan dhahir, selain menunjukkan satu
makna ketika diucapkan, ia juga memberikan kemungkinan makna lain yang meskipun
lemah. Misalnya firman Allah:
ٱضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas…”
(QS. Al-Baqarah: 173).
Lafadh “al-bagh” digunakan untuk makna al-jahil(bodoh dan tidak tahu) dan al-dhalim (melampaui batas). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang kuat (rajah), sedangkan makna yang pertama lemah (marjuh).
3. Muawwal
Muawwal, yaitu sebuah lafadh yang diartikan
dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya
makna rajah. Ada perbedaan antara muawwal dan dhahir; dhahir diartikan dengan makna yang rajah sebab tidak ada dalil
yang memalingkannya kepada marjuh, sedangkan
muawwal diartikan dengan makna marjuh karena
ada dalil yang
memalingkan dari yang rajih. Misalnya firman
Allah:
وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ
ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan (QS. Al-Isra’: 24). Lafadh janah aslinya mempunyai arti sayap sedang dzull bermakna rendah, namun ayat ini lebih condong dimaknai dengan hendah hati, tawadhu’ dan bergaul dengan baik kepada kedua orang tua, tidak diartikan dengan makna yang pertama.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun, karna komentar yang membangun dapat membuat penulis menjadi lebih baik kedepannya.