Pengertian Maqamat
Secara etimologis, maqamat merupakan jamak dari maqam yang berarti kedudukan, tempat, tingkatan (station), atau kedudukan dan tahapan menuju kepada Tuhan.
Maqam memiliki arti dasar “tempat berdiri”, dalam arti terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Maka maqamat memiliki arti kedudukan seorang hamba di hadapan Allah Swt, yang diperoleh melalui latihan-latihan (riyadhah), amalan-amalan, dan lainnya yang tidak putus-putusnya dengan Allah Swt.
Secara teknis maqamat bisa disebut juga sebagai aktivitas atau usaha seorang hamba untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya di hadapan Allah Swt dengan amalan-amalan tertentu.
Maqamat menurut ahli
1. Menurut al-Qusyairi
Maqamat adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras serta keluhuran budi pekerti yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.
2. Menurut al-Thusi
Maqamat merupakan kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian, serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada-Nya.
Tahapan Maqamat
1. Taubat
Taubat bermakna kembali, menyesal. Taubat yang dimaksud adalah taubat nasuha, yaitu seorang hamba menyesali dosa yang pernah dilakukannya dan benar-benar tidak akan mengulanginya kembali.
Taubat membawa seseorang kepada perbuatan ibadah yang mengarah kepada kasih sayang Allah, dan kasih sayang Allah akan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Dekat kepada-Nya niscaya dapat membawa kepada segala kebajikan di dunia dan menjadi mulia di hadapan-Nya. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 17 :
اِنَّمَا التَّوْبَةً عَلَى اللَّهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلًوْنَ السًّوْءَ بِجَهَا لَةٍ ثُمَّ يَتُوْبَوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَأُلئِكَ يَتُوْبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْۗ وَكَانَ اللَّه عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya : “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2. Zuhud
Pada tahap (station) ini, seorang hamba akan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Ia akan mengasingkan diri dengan banyak beribadah untuk lebih dekat kepada tuhan.
3. Wara’
Wara’ berarti menjauhkan diri dari perbuata diri dan maksiat, termasuk juga hal-hal yang “berbau” syubhat.
4. Faqr
Faqr berarti senantiasa butuh kepada Allah. Seorang hamba akan menyatakan bahwa dirinya tidak memilki apa-apa, bebas dari segala sesuatu yang ada di dunia, selalu merasa butuh dan ketidak mampuan di hadapan Allah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Fathir ayat 15 :
يٰأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ اِلَى اللَّهۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
Artinya : “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Dialah Allah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuj”.
5. Sabar
Tidak hanya sabar dalam dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya, tetapi juga sabar dalam menerima cobaan-cobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya.
Firman Allah Swt dalam QS. Ali ‘Imran ayat 200 :
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَا مَنُوا اصْبِرُوْ وَصَا بِرُوْا وَرَابِطُوْا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bersakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”.
6. Tawakkal
Station ini akan membuat seorang hamba akan menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok, apa yang ada hari ini baginya sudah cukup. Ia menganggap seolah-olah sudah mati.
ٳِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal”.
Menurut al-Ghazali, ada tiga tingkatan tawakkal , yaitu :
Menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan segala kekuasaan dalam suatu urusan kepada wakilnya, setelah meyakini kejujuran, kebaikan, dan kesungguhan wakilnya dalam urusan tersebut. Pada tingkat ini, masih memperlihatkan adanya harapan dan keinginan dalam dirinya, meskipun segala hal telah diwakilkan kepada Allah.
Menyerahkan diri kepada Allah, layaknya seorang bayi yang menyerahkan segala persoalan kehidupan kepada ibunya. Pada tingkat ini, masih terlihat harapan dan keinginan, namun sudah semakin berkurang.
Menyerahkan diri kepada Allah seperti mayat yang berada di tangan orang yang memandikannya. Pada tingkat ini, tawakkal sudah menjadi kepasrahan total kepada Allah.
7. Ridha
Dari station ini, seorang hamba tidak akan menentang cobaan dari Tuhan, bahkan ia dengan senang hati menerima. Di dalam hatinya tidak ada rasa benci, ketika mala petaka turun hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan.
Firman Allah Swt dalam QS. al-Bayyinah ayat 8 :
جَزَاءُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ أَبَدًاۖ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْه ۚ ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ رَبَّه
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.
Ibnu Khafif berkata, “Ridha ialah ketenangan hati dengan ketetapan Allah dan kepasrahan hati dengan apa yang menjadikan Allah Swt ridha dan apa yang dipilih-Nya”.
Ketika Rabiah al-Adawiyyah ditanya, “Bagaimanakah seseorang dipandang ridha?” ia menjawab, “Apabila baginya penderitaan itu sama menggembirakannya dengan dianugerahinya nikmat.
Pengertian Ahwal
Ahwal merupakan isim jamak dari kata hal yang berarti kondisi, keadaan.
Menurut ilmu tasawuf, hal berarti perasaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya dzikir.
Berbeda dengan maqamat, hal diperoleh bukan karena usaha maksimal seperti riyadhah dan semacamnya, namun diperoleh secara spontan dan sifatnya hanya sementara sebagai wujud “hadiah” dari Tuhan berupa kilatan-kilatan Ilahi (Divine Flashes).
Dengan demikkian, ahwal merupakan keadaan atau kondisi jiwa yang diberikan oleh Allah Swt kepada seorang hamba tanpa harus melakukan suatu latihan untuk mendapatkannya.
Ahwal menurut ahli
1. Harun Nasution
Hal merupakan keadaan jiwa seperti perasaan senang, sedih, takut, dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal diantaranya rasa takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadhu), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira (al-wajd), berterimakasih (al-syukr).
2. Al-Thusi
Ahwal adalah apa yang ada di dalam hati karena ketulusannya dalam mengingat Allah.
3. Al-Junaid
Hal adalah sesuatu yang datang dan singgah ke dalam hati, namun tidak pernah menetap.
Macam-macam Ahwal
1. Muraqabah
Muraqabah adalah suatu keyakinan yang mendalam bahwa Allah terus menerus mengamati seluruh aktivitas yang dilakukan seseorang, baik lahir mauupun batin. Diartikan juga di alangan para sufi sebagai mawas diri. Seorang hamba akan meneliti dan merenungkan apakah tindakan yang dilakukan setiap harinya sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
Allah Swt berfirman dalam QS. al-Ahzab ayat 52 :
ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ رَقِيْبًا
“Dan Allah Maha mengawasi segala sesuatu”.
Muraqabah terdiri dari tiga tingkatan :
Muraqabah al-Qalb
Yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari kehadirannya dengan Allah.
b. Muraqabah al-Ruh
Yaitu kewaspadaan dan peringata terhadap ruh agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah.
c. Muraqabah al-Jism
Kewaspadaan terhadap diri agar selalu meningkatkan amal ibadah dan memperbaiki akhlak.
Tanda bahwa hati seseorang masih hidup adalah saat ia dapat merasakan sifat-sifat Allah dan merasakan bahwa Allah selalu melihat serta mendengar apa yang ia bicarakan walaupun hanya di dalam hati, hal ini merupakan tingkatan muraqabah.
2. Musyahadah
Musyahadah merupakan wujud penglihatan Tuhan yang sebenarnya (al-Haq) di dalam setiap zarrah al-wujud yang ada disertai dengan membersihkan diri dari setiap perkara yang tidak layak dengan kebesaran-Nya.
Allah Swt berfirman dalam QS. Qaf ayat 37 :
ٳِنَّ فِى ذٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya”.
Tingkatan-tingkatan Musyahadah :
Musyahadah kepada segala perbuatan Allah
Musyahadah kepada segala sifat-sifat Allah
Musyahadah kepada dzat Allah
Tanda ketajaman hati adalah bahwa mata hatinya (bashirah) dapat menembus apa yang ada di alam dunia ini dan seakan-akan menyaksikan Allah. Ini adalah tingkatan musyahadah.
3. Khauf
Imam al-Ghazali berkata, “Hakikat dari takut yakni khauf, adalah kepedihan dan terbakarnya hati karena mengira akan ketimpa musibah dan sesuatu yang tidak memnyenangkan di masa mendatang. Khauf kepada Allah terkadang timbul karena dosa, kadang timbul karena seseorang mengetahui sifat-sifat-Nya yang mengharuskannya untuk takut kapada-Nya. Ini merupakan tingkatan khauf yang paling sempurna.
Firman Allaah Swt dalam QS. as-Sajadah ayat 16 :
تَتَجَا فٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezeki yang Kami berikan”.
Dalam Qawa’id at-Tasawwuf Ahmad Zaruq mengatakan, “Diantara yang memotivasi amal adalah rasa takut, yaitu pengagungan yang disertai keseganan, dan khauf adalah bergetarnya hati karena Allah”.
4. Raja’
Menurut Ahmad Zaruq dalam Qawa’id at-Tasawwuf, raja’ adalah kepercayaan atas karunia Allah yang dibuktikan dengan amal perbuatan. Jika bukan demikian, yang ada hanyalah keterpedayaan.
Raja’ disebut juga sebagai pengharapan. Orang yang berharap adalah orang yang mengerjakan sebab, yaitu ketaatan seraya mengharap ridha dan pengabulan dari Allah Swt.
Firman Allah dalam QS. al-’Ankabut ayat 5 :
مَن كَانَ يَرْجُوْا لِقآءَ اللَّهِ فَٳِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَأَتٍ ۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Raja’ menuntuk kepada tiga perkara, yaitu Cinta kepada apa yang diharapkan, takut harapannya hilang, dan berusaha untuk mencapai harapan itu.
5. Syauq
Syauq (kerinduan) seorang hamba adalah kejenuhan untuk tetap tinggal di dunia, karena ia sangat rindu untuk bertemu dengan Kekasihnya, yaitu Allah Swt.
Imam al-Qusyairi dalam kitab Risalatul Qusyairiyah mengatakan bahwa kerinduan tidak bisa digambarkan kecuali dengan bertatap muka atau tanpa tatap muka. Tapi jika sama sekali tidka pernah tatap muka, sudah pasti tidak akan ada kerinduan, dan kesempurnaan semacam ini hanya ada di akhirat.
Sedangkan Imam al-Ghazali dalam Mukasyafah al-Qulub mengatakan, “Isyq adalah mengoyak tabir dan menyingkap rahasia. Wajd (kegairahan/kecintaan yang luar biasa) adakah ketidakmampuan roh menahan dominasi kerinduan ketika merasakan manisnya berdzikir. Sehingga jika salah satu anggota tubuhnya terlepas, maka ia tidak akan merasakan dan menyadarinya”.
6. Qurbah
Qurbah adalah suatu keadaan spiritual yaitu kedekatan bagi hamba yang telah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah Swt dengannya. Sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan-ketaatan dan memfokuskan pemikirannya kepada Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam keadaan apapun baik secara lahir maupun batin.
Firman Allah Swt dalam QS. al-Baqarah ayat 186 :
وَٳِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّيْ فَٳِنِّيْ قَرِيْبٌ . . .
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tetang Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat…”
Menurut al-Sarraj, qurb membutuhkan mahabbah dan khauf. Jika yang dominan dalam hati sang hamba adalah kecintaan kepada Allah, maka qurb itu berbentuk mahabbah. Namun jika perasaan takutnya lebih besar, maka qurb itu berbentuk khauf.
7. Tuma’ninah
Tuma’ninah (ketenangan) merupakan kondisi spiritual yang tinggi. Seornag hamba yang telah mencapai tingkatan ini adalah yang akalnya kokoh, imannya kuat, ilmunya mendalam, dzikirnya jernih, dan hakikatnya tertancap kokoh.
Firman Allah Swt dalam QS. al-Fajr ayat 27 :
يَأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
“Hai jiwa-jiwa yang tenang”
Menurut beberapa tafsir disebutkan, “Yang merasa tenang dengan keimanan.”
Menurut Sahl ibn Abdullah, jka hti seorang hamba bersemayam di dalam Tuhannya dan merasa tenang bersama-Nya maka akan menguatkan kondisi rohaninya.
8. Yaqin
Percaya mutlak kepada Allah adalah keadaan tertinggi yang diharapkan seorang hamba yang menempuh perjalanan (salik) kepada Allah, dan orang yang telah mencapainya tidak perlu lagi menyingkap misteri-misteri ghaib.
Ada tiga macam yaqin, yaitu ‘Ilmu Yaqin (ilmu yang dihasilkan dari dalil akal), ‘ainul yaqin (pengetahuan yang diperoleh dengan melihatnya secara langsung), haqqul yaqin (fana’ si hamba berupa sifat Tuhannya dan baqa’ bersama-Nya).
Sedangkan Abu Bakar al-Waraq mengatakan bahwa yaqin terdiri atas tiga macam, yaitu yaqin khabar (kepercayaan hati dalam menerima suatu berita), yaqin dalalah (pengetahuan yang diperoleh dengan penyelidikan akal), dan yaqin musyahadah (pengetahuan yang dicapai dengan perantara hidayat Allah).
Pengertian Manazil
Manazil merupakan tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang hamba dalam pengamalan agamanya. Dengan tahapan tersebut dapat menghantarkannya ke tingkat yang tertinggi dalam perjalanan hidupnya yaitu kepada Allah Swt.
Manazil yag harus ditempuh oleh seorang salik berjumlah sepuluh macam, dan setiap satu manazil terbagi menjadi sepuluh macam pula, sehingga berjumlah seratus manazil.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun, karna komentar yang membangun dapat membuat penulis menjadi lebih baik kedepannya.